Kamis, 29 Juli 2010

Merenungkan Kembali Hikmah Isra Mikraj By Ust subur Jaya

Merenungkan Kembali Hikmah Isra Mikraj
By Ust subur Jaya

Isra mikraj bukan hanya sebentuk cerita yang selesai begitu saja tanpa makna tersisa dengan kembalinya Nabi Muhamad Saw ke bumi. Kisah ini masih banyak menyimpan nilai-nilai yang perlu digali, direnungkan, diteladani kemudian diaktualisasikan dalam ranah nyata sebagai gerakan sadar sejarah dan kebangkitan peradaban umat Islam, khususnya terkait dengan nasib masjid al-Aqsha (tempat berakhirnya Isra) dan penderitaan saudara kita di Palestina yang hari demi semakin menderita akibat kekejaman penjajahan bangsa Israel.

Di sisi lain, seyogyanya Isra Mikraj tidak hanya dimaknai bahwa Nabi Kita pernah melakukan perjalanan yang sanggup mengguncang iman seseorang, lalu diperlihatkan tentang betapa agung dan luar biasanya kekuasaan Allah Swt. Lebih dari itu, kalau kita jeli membaca dan merenungkan rentetan momen-momen yang terjadi di tengah-tengah antara Isra dan Mikraj, maka kejadian ini sebetulnya mengandung hikmah dan isyarat Tuhan tentang posisi dan potensi sesungguhnya Nabi Muhamad dan umatnya: betapa Nabi Muhamad dipersiapkan Allah Swt sebagai pemimpin seluruh umat dan pewaris terakhir kenabian dan umatnya di jadikan sebagai umat terbaik.
Perjalanan Isra: dari masjid al-Haram (di Mekah) ke masjid al-Aqsha (di Palestina), kemudian saat di masjid al-Aqsa Nabi didaulat menjadi imam shalat jama\'ah yang makmumnya terdiri dari para Nabi terdahulu, semua ini menunjukan ada proses peralihan estafet kepemimpinan sekaligus pengakuan sadar bahwa Nabi Muhamad merupakan pemegang tongkat kepemimpinan dari generasi terdahulu dan generasi yang akan datang. Shalat jama\'ah ini juga menunjukan bahwa misi dakwah para nabi itu satu yaitu: sama-sama mengajak beriman kepada Allah Swt yang Maha Esa. Kejadian ini juga sebagai tanda bahwa Islam adalah agama samawi penutup. Karena Islam ditahbiskan sebagai agama terakhir, maka sebagai konsekuensi logisnya nilai-nilai Islam dijamin akan selalu relevan dan kompatibel dengan kemajuan zaman.

Awal Mula Isra
Perjalanan spiritual ini terjadi pada saat Nabi dan umat Islam sedang mengalami tekanan psikologis dan fisik yang luar biasa sakit. Selama tiga tahun (mulai 7 Muharam tahun ke-7 - semenjak diangkat jadi Nabi- sampai tahun ke-10) Nabi dan pengikutnya diembargo oleh kaum musyrik Mekkah, baik secara ekonomi, maupun sosial-politik. Masa gembira karena berakhirnya embargo tak berlangsung lama, karena enam bulan kemudian, tepatnya bulan Rajab, pamannya, Abu Thalib, pembela setia dan selalu menjaga bahkan memperkuat daya tawar politik Nabi di hadapan kaum musyrikin, wafat. Lima puluh hari kemudian, tepatnya bulan Ramadhan, istri tercintanya Sayidah Khadijah yang selalu setia mensuport, melayani dan mendengar keluh kesah Nabi dengan penuh kasih sayang juga wafat. Lengkaplah sudah kesedihan Nabi. Dua pelindung utamanya telah tiada. hampir dalam waktu yang bersamaan. Maka umat Islam menamakan tahun ini sebagai tahun penuh duka (‘Amul huzni).
Tapi kekuatan iman dan keyakinannya akan pertolongan Allah Swt. tidak membuat musibah di atas menggoyahkan perjuangan dakwahnya. Beliau tetap survive! Masih pada tahun kesepuluh dari pengangkatannya sebagai Nabi, tepatnya bulan Syawal, Nabi bersama Zaid bin Haritsah membuat keputusan berani pergi ke Thaif untuk mencari lahan dakwah baru. Tapi tak ada satupun yang mau masuk Islam! Bahkan secara terencana, Nabi dilempari batu dan terluka parah, kedua kakinya berlumuran darah, begitu juga Zaid bin Haritsah, kepalanya berdarah akibat lemparan batu. Tapi yang lebih menyakitkan Nabi adalah sumpah serapah dan caci-maki yang kebablasan dari penduduk Thaif. Nabi akhirnya bersimpuh, mengadu pada Allah Swt, bahwa dirinya begitu lemah tak berdaya:
(Ya Allah, kepadaMu juga aku mengadukan kelemahan kekuatanku, kekurangan siasatku dan kehinaanku di hadapan manusia. Engkau Yang Paling Pengasih, Engkau adalah Tuhannya orang-orang lemah, Engkaulah Tuhanku, kepada siapa hendak Kau serahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, ataukah musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab sungguh teramat luas rahmat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan DzatMu yang menyinari segala kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemarahanMu kepadaku atau murka kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan selain denganMu)
Untuk menghibur, meyakinkan kebenaran visi Nabi dakwah selama ini dan mengingatkan kembali bahwa beliau tidak sendiri dalam berjuang: ada Allah Swt dibelakang Nabi, di perjalankanlah beliau sampai menuju Sidratul Muntaha. Di dalam perjalanan itu Nabi disambut hangat oleh penduduk langit ditunjukan kebesarannya, bahwa kalau di bumi beliau dicaci-maki, maka sebaliknya penduduk langit gegap-gempita menyambutnya. Diperlihatkan pada Nabi betapa segenap jagad raya ini tak ada apa-apanya dihadapan Allah Rabul \'alamin.
Demi memperkuat keyakinan keimanan sampai pada tahap tertinggi, kejadian Isra Mikraj adalah keniscayaan bagi seseorang yang dipersiapkan akan dijadikan pemimpin seluruh alam. Dengan kejadian ini Nabi tidak hanya iman kepada Allah secara teori tapi juga disertai data empiris. Maka penghayatan dan pengakuan keimanan Nabi pada al-Khaliq adalah yang tertinggi diantara makhluk Allah Swt.
Sementara bagi muslimin hikmahnya adalah bahwa kejadian ini sebagai ujian atas keteguhan iman mereka: percayakan mereka dengan kejadian Isra dan Mikraj? Mungkinkah Mekkah-Palestina (-+1500 k.m) plus ke Sidratul Muntaha ditempuh dalam sepenggal malam? Padahal masa itu Mekah-Palestina kalau ditempuh dengan menggunakan onta tidak kurang dari satu bulan lamanya. Menanggapi kejadian ini, menurut Ibnu Katsir, sikap orang Islam terbelah dua, ada yang kembali murtad, dan ada yang malah semakin tebal imannya.

Pro Kontra Seputar Isra Mikraj
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ﴿١﴾
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya ( “Abdun = Ismun Majmu’un Bainal Ruh Wal Jasad” = Menyatunya antara Ruh & Jasad ). pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Detail kejadian seputar Isra Mikraj, baik menyangkut tanggal, bulan dan apakah diperjalankannya Nabi dengan jasadnya atau hanya ruhnya saja dan kejadian lainnya memang masih menyisakan pro-kontra. Tapi dalam konteks keimanan, asal kita masih percaya bahwa pernah ada prosesi Isra, maka perdebatan ini tidak menggangu keimanan kita. Artinya yang paling penting adalah memetik substansi dan makna yang bisa kita terapkan dalam hidup kita. Beberapa isu yang akan diangkat di sini hanya sebagai pengayaan wacana dan pengetahuan saja.

Betulkah Isra terjadi pada bulan Rajab tanggal 27?
Menurut Ibn Ishaq, Isra terjadi tahun ke-10 (dari sejak diangkat jadi Nabi). Menurut az-Zuhri dan \'Urwah kejadianya setahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Menurut Ismail as-Sudi terjadinya enam bulan sebelum hijrah. Sedang menurut al-Hafidz Abd. Ghani bin Surur al-Muqadasi Isra Mikraj terjadi pada tanggal 27 bulan rajab. Dan pendapat terakhir ini yang diambil oleh umat Islam sekarang dan dirayakan.

Apakah Isra dan Mikraj Nabi dilakukan dengan ruh saja atau sekaligus dengan jasad?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa Isra Mikraj dilakukan dengan tubuh dan ruh Nabi. Justru disinilah letak mukjizatnya. Selain itu kalimat bi\'abdihi yang terdapat dalam surat al-Isra semakin mengukuhkan bahwa kejadian itu dilakukan dengan ruh dan jasa Nabi. Karena dalam al-Qur\'an dan leksikal Arab kata abdun, selalu menunjuk pada ruh dan jasad secara bersamaan. Abdun “Ismun Majmuu’un bainul Ruh wal Jasad”

Kenapa harus ke Baitul Maqdis dulu, tidak langsung saja dari Haram ke Sidratul Muntaha?
Ini menujukan bahwa Baitul Maqdis sangat penting posisinya dalam agama Islam. Ia adalah kiblat pertama umat Islam. Kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi Shalat menghadap Baitul Maqdis. Ia adalah salah satu dari 3 masjid yang wajib dikunjungi ketika kita bernazar untuk menziarahinya. Pahala beribadah di sana sama dengan 500x lipat beribadah ditempat lain (selain masjid al-Haram dan masjid Madinah). Masjid al-Aqsha juga adalah tempat para nabi dikuburkan, sehingga Imam Syafi\'i, suatu ketika pernah berkata, "saya sangat suka beri\'tikaf di masjid ini, lebih dari masjid manapun," kemudian ketika ditanyakan alasannya, beliau menjawab, "disinilah tempat berkumpul dan dikuburkannya beberapa Nabi."

Bagaimana hukum orang yang tidak mempercayai Isra Mikraj?
Ulama dalam hal ini membedakan antara hukum tidak mempercayai Isra dan hukum tidak mempercayai Mikraj. Bagi orang yang tidak mempercayai Isra, hukumnya kafir karena kejadian itu sudah di nash dalam al-Qur\'an dengan sangat gamblang dan tak menerima lagi kemungkinan takwil (qat\'iyu ats-tsubut wa ad-dilalah). Sementara orang yang tidak mempercayai Mikraj hukumnya fasik. Kenapa? Karena kejadian mikraj hanya berdasarkan pada al-Qur\'an (an-Najm:13-18) yang tidak tegas dilalahnya (qat\'iyu ats-tsubut wa zdhani ad-dilalah) dan berdasarkan hadis-hadis sahih tapi tidak sampai pada derajat mutawatir.

Hikmah Isra Mikraj Dalam Konteks Kekinian
Pertama, setiap kita memperingati Isra Mikraj hendaknya jangan hanya diposisikan sebagai telah terjadinya sebuah kisah luar biasa belaka, tetapi mesti diletakan dalam konteks perenungan untuk diambil hikmah dan semangatnya, kemudian dijadikan sebagai pemicu kebangkitan peradaban umat Islam.
Kedua, Peringatan Kejadian ini hendaknya memicu semangat persatuan, konsolidasi dan solidaritas umat Islam diseluruh dunia, khususnya untuk membantu rakyat Palestina untuk terlepas dari penderitaan yang sekarang ini memasuki babak baru yang sangat menyedihkan dan memalukan, yaitu perang saudara antara Hamas dan Fatah. Tidak ada yang menguntungkan dari pertikaian ini kecuali membuat rakyat Palestina makin menderita. Pada saat yang sama dibelahan dunia Islam lain perang saudara di Irak, Afganistan, Sudan dan lainnya juga masih panas berkecamuk. Masih belum cukupkah bagi kita untuk segera bangun dan bangkit mengejar ketertinggalan hampir disemua bidang ini?
Ketiga, Hal penting lain dari Isra Mikraj adalah diwajibkannya menunaikan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Tidak seperti puasa, haji, zakat dan ibadah lainnya yang kesemuanya diwajibkan dibumi melalui wahyu via Malaikat Jibril, shalat diwajibkan langsung oleh Allah Swt saat Nabi masih dilangit. Ini menunjukan betapa posisi shalat punya nilai khusus dimata Allah Swt. Shalat adalah media mikraj muslim pada Allh Swt. Maka tak heran shalat yang baik, yang berkualitas, yang dibarengi kebersihan jiwa akan sanggup menciptakan kondisi sosial yang kondusif, karena bisa mencegah berbagai bentuk kemunkaran. Jadi Islam saja, shalat saja tidak cukup untuk mencegah kemunkaran, korupsi, nepotisme, kekerasan, tapi harus dibarengi perenungan, kebersihan jiwa, aktualisasi dan keikhlasan. Intinya, tekad setiap individu muslim untuk berusaha menciptakan shalat berkualitas sangatlah penting dalam sistem tarbiyah kejiwaan kita. Karena efek jangka panjangnya dapat mengontrol perilaku sosial umat Islam.
Wallahu \'alam bi shawab

Kamis, 01 Juli 2010

Solusi Bagi Wanita Yang Tertindas Suami


By abu Alfiah
Pada hakikatnya, Islam tidak melepaskan kehidupan rumah tangga berjalan begitu saja tanpa arah petunjuk. Sehingga hawa nafsu menjadi penentu yang berkuasa. Tidak demikian adanya. Islam telah menggariskan hak, kewajiban, tugas dan tanggung-jawab antara suami dan istri sesuai dengan kodrat, kemampuan, mempertimbangkan tabiat dan aspek psikis. Hal tersebut ditetapkan di atas landasan yang adil lagi bijaksana. Allah Ta'ala berfirman:
             

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [al-Baqarah/2:228].

Jika pasangan suami istri mengerti dan memahami kewajiban masing-masing, niscaya biduk suatu rumah tangga kaum muslimin akan berjalan normal, semarak oleh suasana mawaddah dan rahmat. Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya. Begitu pula, istri juga menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dengan ini, rumah tangga akan menuai kebahagiaan dan ketentraman. Rumah tangga benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
            ••   •      
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." [ar-Rûm/30:21].
Akan tetapi, kondisi ideal ini, terkadang terganggu oleh riak-riak yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat mawaddah dan rahmat antara suami-istri.
Suami berbalik membenci istrinya. Pada sebagian suami, tidak mampu bersabar sehingga tangan kuatnya diayunkan ke tubuh istri, dan menyebabkan istri mengerang kesakitan. Bekas-bekas penganiayaan pun terlihat jelas. Istrinya merasa tidak aman dan nyaman hidup dengan lelaki itu. Situasi kian memanas. Akibat emosi tak terkendali, kadang timbul aksi yang tidak diharapkan, semisal penganiayaan hingga pembunuhan, baik dari suami maupun istri. Nas`alullah as-salaamah.

Syaikh 'Abdur-Rahmaan as-Sudais menyampaikan fakta: "Ada sejumlah lelaki (suami) yang tidak dikenal kecuali hanya dengan bahasa perintah dan larangan, hardikan, sifat arogan, buruk pergaulan, tidak ringan tangan, susah bertoleransi, emosional dan sangat reaktif. Jika berbicara, perkataannya menunjukkan dirinya bukan orang yang beradab. Dan bila berbuat, perilakunya mencerminkan kecerobohan. Di dalam rumah, suka menghitung-hitung kebaikannya di hadapan istri. Bila keluar rumah, prasangka buruk kepada istri menggelayuti pikirannya. Bukan pribadi yang lembut dan tidak sayang. Istrinya hidup dalam kesulitan, bergulat dengan kesengsaraan dan terpaksa mengalami prahara"[1]


MENDATANGKAN DUA PENENGAH DARI MASING-MASING PIHAK

Dalam konteks ini, bila persoalan semakin meruncing, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengarahkan untuk menghadirkan dua penengah dari keluarga suami dan istri.
                  •     

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [an-Nisaa`/4:35][2].

Tugas mereka berdua, mengerahkan segala upaya untuk mengetahui akar permasalahan yang menjadi sebba perseteruan antara suami istri dan menyingkirkannya, serta memperbaiki hubungan suami-istri yang sedang dilanda masalah. Dua penengah ini (hakamain) disyaratkan orang muslim, adil, dikenal istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan bersepakat atas satu keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan hubungan dan pemisahan antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keputusan dua penengah ini mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hubungan atau memisahkan mereka.


TALAK BISA "MENJEMBATANI" KEBUNTUAN ANTARA SUAMI-ISTRI

Pada asalnya, talak bukanlah jalan keluar yang dianjurkan untuk menyelesaikan keretakan hubungan antara suami-istri, jika tidak ada faktor penting dan mendesak yang menjadi penyebabnya. Namun, ketika istri memperlihatkan tanda-tanda kebencian kepada suami, karena istri sering mengalami penindasan, misalnya secara fisik berupa pukulan yang menciderai, siksaan yang berat, kewajiban nafkah tak dipenuhi, terus-menerus dicaci, mendapatkan tuduhan yang bermacam-macam umpamanya, sehingga kehidupan rumah tangga tidak mendukung menjadi keluarga harmonis, maka dalam kondisi ini, talak bisa menjadi jalan keluar bagi mereka berdua.

Konsepsi kehidupan rumah tangga dalam Islam sendiri bersendikan "pergaulan yang baik, atau dilepaskan dengan cara baik pula". Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

         
"Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik" [al-Baqarah/2:229].

Kalau suami ingin tetap hidup bersama istri, kewajibannya ialah mempergauli istrinya dengan sebaik-baiknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

    
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut". [an-Nisâ/4: 19]

Tindakan aniaya terhadap orang lain terlarang. Demikian juga perbuatan-perbuatan yang merugikan dan membahayakan orang lain. Apalagi kepada orang yang menjadi pendamping hidup dan bersifat lemah. Orang terbaik ialah orang yang berlaku baik kepada keluarganya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang bersikap baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku" [HR at-Tirmidzi dan Abu Dâwud].

Kedekatan antara suami dan istri sangat kuat. Dari seringnya interaksi antara keduanya, masing-masing dapat mudah terpengaruh oleh kondisi pasangannya. Pengaruh baik akan berdampak positif bagi pasangan. Begitu pula, keadaan-keadaan yang buruk pun akan mudah berpengaruh pada pasangannya.
Tatkala kesepahaman tidak bisa dipadukan, dan seluruh terapi tidak memberi pengaruh positif bagi perubahan ke arah yang baik, maka kehidupan berumah tangga dengan pasangan bisa menjadi beban berat untuk dipikul. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

          •  
"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana" [an-Nisaa/4:130]


BILA SUAMI TIDAK INGIN MENCERAIKAN

Bila kehidupan rumah tangga sudah menjadi beban berat bagi istri sehingga dikhawatirkan tidak mampu lagi menjadi pendamping suami, baik karena perilaku maupun tindak kekerasan yang dilakukan suami atau lainnya, maka dalam keadaan seperti ini, Islam membolehkan wanita mengajukan gugatan cerai kepada suami dengan memberikan ganti rugi harta. Dalam syari’at Islam, gugatan cerai istri atas suaminya ini dinamakan al-khulu’.[3]

“Al-Hishnî rahimahullah” menjelaskan jenis ketiga dari keringanan dalam pernikahan dengan menyatakan: Di antaranya, ialah kemudahan pensyariatan talak (cerai) karena beban berat tinggal berumah tangga, dan demikian juga al-khulu’. Juga semua yang disyari’atkan hak pilih faskh (menggagalkan akad) karena kesabaran wanita atas keadaan tersebut merupakan beban berat (al-masyaqqah), karena syari’at tidak memberikan hak cerai kepada wanita.[4]

Sedangkan” Ibnu Qudamah rahimahullah”, ketika menjelaskan hikmah disyari’atkannya al-khulu’, ia menyatakan: "Al-khulu’ (disyari’atkan) untuk menghilangkan dharar (kerugian) yang menimpa wanita karena jeleknya pergaulan dan tinggal bersama orang yang tidak ia sukai dan benci".[5]

Lebih jelas lagi, yaitu pernyataan Ibnul-QayyimAl-Jauzie, bahwasanya Allah mensyari’atkan al-khulu’ untuk menghilangkan mafsadat yang berat, menimpa pasangan suami istri dan membebaskan satu dari pasangannya [6]. Apabila suami menyetujuinya, maka rusaklah akad pernikahan keduanya (faskh) dan sang wanita menunggu sekali haidh agar dapat menerima pinangan orang lain.

Namun, apabila suami tidak menerima al-khulu’ (gugatan cerai) istrinya tersebut, maka sang istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk pemerintah menangani permasalahan tersebut agar mendapatkan keridhaan suami untuk menerima gugatan cerai tersebut. Sebab, terjadinya al-khulu’, tetap dengan keridhaan suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama bahwasanya al-khulu’ tidak sah kecuali dengan keridhaan suami.[7]

Oleh karena itu, “Ibnu Hazm rahimahullah” berkata: "Maka wanita diperbolehkan mengajukan gugatan cerai (al-khulu’) dari suami dan menceraikannya bila suami meridhainya".[8]

Demikian, cukup jelas solusi yang diberikan Islam dalam menangani masalah KDRT. Keuntungan dunia dan akhirat akan bisa digapai bila menta’atinya. Mudah-mudahan, Allah Subhanahu wa Ta'ala membukakan hati kita untuk menerapkan seluruh syari'at-Nya dalam semua aspek kehidupan kita sehari-hari. Wallahu a'lam.

Maraji`:
1. Dhamanâtu Huqûqi al-Mar`ati az-Zaujiyyah, Dr. Muhammad Ya`qub Muhammad ad-Dahlawi, Penerbit Jâmi'ah Islâmiyyah Madînah, Cetakan I, Tahun 1424 H.
2. Kaukabatul- Khutabil-Munîfati min Mimbaril-Ka'batil-Musyarrafah, kumpulan khutbah Dr. 'Abdur-Rahmân as-Sudais, halaman 427-478. Lihat makalah berjudul Abghadhul Halâl, an-Nidâ`ul Hâni ila an-Nishfits-Tsâni, az-Zawâju Hashânatun wab Tihâj, Washâya wa Taujiihâtun ilâ al-Azwâj waz-Zaujât.
3. Shahîh Fiqhis Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin Sayyid Salim, Penerbit Maktabah at-Tauqifiyyah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Washâya wa Taujiihâtun ilâ al-Azwâj waz-Zaujât
[2]. Adh-Dhamânât, 156-160.
[3]. Lihat artikei almanhaj http://www.almanhaj.or.id/content/2382/slash/0
[4]. Dinukil dari kitab Dhamânât Huqûq al-Mar`ah al-Zaujiyyah, Muhammad Ya’qub ad-Dahlawi, hlm. 149.
[5]. Al-Mughni, 10/269. Dinukil dari Dhamânât, hlm. 149.
[6]. I’lâm al-Muwaqqi’în, 4/110.
[7]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, 3/357.
[8]. Al-Muhalla, 1/235.
Redaksi Majalah As-Sunnah