Kamis, 17 Juni 2010

Nikah Siri versus Nikah Syar'i


Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mendukung pemidanaan pelaku nikah siri. Hal ini sesuai dalam RUU tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Sikap Ketua MK itu adalah hak pribadi beliau. Sama halnya banyak ulama yang tidak setuju nikah siri masuk ranah hukum, karena memang tidak melanggar syariah Islam.

Menko Kesra Agung Laksono mengatakan RUU tersebut telah masuk dalam program legislasi tahun 2010 sehingga kemungkinan besar bakal gol kalau tidak ada upaya sungguh-sungguh dari kalangan yang kontra nikah siri dilarang.

RUU Nikah sirri ini akan menjadi pelengkap bagi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sikap kita tidak harus dipaksakan. Pasal 143-153 RUU itu mengatur perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan. Selain itu juga mengatur perzinahan yang menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.

Bagi pelanggar kena ancaman mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta.

Poin-poin yang diatur dalam RUU tersebut mengandung kontroversi dengan syariat Islam, sehingga menimbulkan pro kontra di kalangan kaum muslimin.

Aturan Islam dalam Masalah Pernikahan

Akad pernikahan adalah ijab-qobul yang dilangsungkan dalam satu majelis, yang diucapkan oleh wali calon istri, dijawab calon suami dan diterima oleh calon istri. Majelis tersebut dihadiri oleh 2 orang saksi muslim yang balig dan berakal, dan memahami ucapan ijab qabul tersebut.

Selama syarat pernikahan dipenuhi, yaitu ada mempelainya, mahar, saksi, wali, dan pihak yang menikahkan, pernikahan mereka sah di mata agama. Tidak diperlukan tambahan harus dicatatkan di KUA dll. Suami dan istri sudah boleh tinggal bersama dalam sebuah mahligai rumah tangga.

Islam mendorong terjadinya pernikahan sebagai solusi dari permasalahan manusia dalam memenuhi kebutuhan naluri seksual secara terhormat dan penuh kesucian. Dengan pernikahan akan terbentuk lembaga keluarga yang menghasilkan keturunan yang jelas nasabnya. Naluri kebapakan, keibuan, ke-nenek-an, ke-paman-an, dll bisa tersalurkan dengan jelas tanpa menimbulkan efek di kemudian hari.
Pernikahan dilakukan agar lelaki dan wanita yang bukan mahramnya merasa tenang jiwanya, tenteram beribadah dalam lembaga keluarga sebagai pasangan suami istri, dan dapat beristirahat setelah melakukan kerja keras di luar rumah. Keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah akan melahirkan keturunan yang bertaqwa, yang akan melanjutkan siar Islam ke seluruh penjuru dunia.

Kasus-kasus dalam Nikah Siri
Nikah siri bukanlah istilah yang dipakai dalam syariat Islam. Nikah siri dimaksudkan sebagai suatu pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Pernikahan mereka hanya disaksikan orangorang terdekat saja

Nikah sirri biasanya dikaitkan dengan masalah kawin muth’ah, poligami, pernikahan antar agama, dll. Kemudian digeneralisir akan membuat kaum wanita dan anak-anak teraniaya karena tidak terpenuhi hak-hak. Anak-anak hasil nikah siri tidak dapat menuntut, jika suami tidak memenuhi hak-haknya baik nafkah, waris, dll.

Masalah kawin kontrak (muth’ah) sudah jelas keharamannya.Menikah tidak boleh dibatasi waktunya. Hampir seluruh ulama melarangnya, karena cenderung hanya sebagai pelampiasan nafsu seksual pihak prianya semata

Poligami sudah jelas kebolehan (mubah). Suami boleh memiliki istri 2, 3 atau 4. Dan ketika sudah melakukan poligami, suami wajib berlaku adil dalam maslah nafkah dan pembagian waktu. Sedangkan dalam masalah cinta, manusia tidak akan sanggup berlaku adil. Tetapi hal itu tidak boleh ditunjukkan kepada para istri sehingga menjadi tidak adil dalam hal nafkah dan pembagian waktu.

Pernikahan antar agama juga sudah jelas mana yang dibolehkan dan mana yang diharamkan. Wanita muslimah haram menikah dengan lelaki kafir (ahli kitab maupun musyrik). Lelaki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab yang memelihara kesuciannya (baik yahudi atau nasrani), dengan syarat anak hasil pernikahan mereka harus dididik sebagai seorang muslim.

Sebenarnya kalau kita mau melihat dengan jernih, maka kita dapat menemukan pokok permasalahannya yaitu masalah pencatatan keterangan sudah menikah di KUA. Hal ini serupa dengan surat keterangan lahir untuk bayi, yang tercantum di dalamnya nama ayah dan ibunya. Surat keterangan lahir tersebut bisa diakui meskipun bisa jadi nama ayah dan ibu yang tertera tidak benar sesuai dengan kenyataan.

Oleh karena itu, pemerintah harus menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dengan cara memperbaiki sistem pencatatan pernikahan. Dalam hal ini bisa dilibatkan ketua RT sampai kelurahan yang bersangkutan. Atau dibuatkan UU yang menjamin persamaan hak antara wanita dan anak-anak hasil nikah siri dengan wanita dan anak-anak hasil nikah yang tercatat di KUA. Bukan hukum nikahnya yang diganti.

Hukum Syara’ Tidak Tergantung Ruang dan Waktu

Nikah siri dianggap lebih banyak dampak negatif ketimbang positifnya. Oleh karena itu digulirkanlah RUU Nikah Siri untuk dapat mempidanakan lelaki pelaku nikah siri.

Dalam rukun nikah tidak termaktub di dalamnya harus dicatatkan di KUA. Kalau ada yang menambahkan dalam rukun nikah dimasukkan pencatatan tersebut, berarti menambah-nambah sesuatu ke dalam hukum syara’ yang sudah ditetapkan Alloh SWT. Hal ini disebut bid’ah. Nabi bersabda: “Setiap bid’ah adalah sesat”.

Kasus-kasus yang terjadi dalam pelaksanaan syariat di suatu tempat atau pada suatu jaman, tidak dapat dijadikan alasan untuk merubah hukum. Apalagi ada yang beranggapan bahwa Islam itu fleksibel/elastis dan berjalan sesuai dengan perubahan sosial,ekonomi atau politik pada setiap waktu dan tempat. Berarti Islam berkembang agar penerapan hukum-hukum sesuai dengan kejadian, kondisi serta tuntutan manusia yang elah menjadi kebiasaan terkini.

Hukum syara’ adalah aturan yang dibuat Alloh SWT untuk menyelesaikan problematika manusia. Setiap perintah-Nya pasti mengandung kebaikan (maslahat). Dan setiap larangan-Nya pasti mengandung kerusakan (mafsadat). Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu menentukan kebaikan dan keburukan secara pasti yang dapat berlaku di semua tempat dan sampai kapanpun.Jadi tugas akal manusia memahami realita yang ada, kemudian menggali hukum Alloh untuk menentukan sikap kita terhadap fakta tersebut. Sumber hukum yang digali pun sudah pasti yaitu Al Qur’an dan hadits nabi saw.

Efek Negatif RUU Nikah Siri

Sebenarnya, setiap pasangan ingin pernikahannya diketahui masyarakat secara luas dan tercatat di KUA.

Namun karena alasan ekonomi, kontrak kerja, dll, mereka belum dapat mencatatkan pernikahannya. Berdasarkan RUU nikah siri, mereka bisa dipidanakan.

Efek jangka panjang dari RUU ini bisa membuka pintu perzinahan. Karena berdasarkan KUHP yang ada, pelaku perzinahan yang dilakukan berdasarkan suka sama suka tidak dapat dipidanakan.Pergaulan bebas akan tambah merajalela.

Jika hal tersebut sudah menjadi budaya, maka terjadilah kerusakan tatanan kehidupan bermasyarakat. Nasab seorang anak menjadi tidak jelas lagi, siapa bapaknya dan ibunya, nenek dan kakeknya, paman dan bibinya. Keluarga berantakan, terbentuk generasi muda yang rusak moral dan akhlaknya. mat manusia akan semakin jauh dari ajaran Islam.

Kesimpulan
Rukun nikah sudah jelas, kita tinggal melaksanakannya dengan baik.Kasus negatif dari nikah siri bisa diatasi dengan sistem pencatatan yang lebih baik dari pemerintah.

Manakah yang lebih baik, hukum Alloh atau hukum buatan manusia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar